Implementasi Kebijakan

Kebijakan publik paling tidak mengandung tiga komponen dasar, yaitu: (1) tujuan yang hendak dicapai, (2) sasaran yang spesifik, dan (3) cara mencapai sasaran tersebut. Cara mencapai sasaran inilah yang sering disebut dengan implementasi, yang biasanya diterjemahkan ke dalam program-program aksi dan proyek. Aktivitas implementasi ini biasanya terkandung di dalamnya: siapa pelaksananya, besar dana dan sumbernya, siapa kelompok sasarannya, bagaimana manajemen program atau proyeknya, dan bagaimana keberhasilan atau kinerja program diukur. Secara singkat implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Tujuan kebijakan pada hakekatnya adalah melakukan intervensi. Oleh karenanya implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri.

Presman dan Wildavsky (1973: xiii) mendefinisikan implementasi kebijakan seperti apa yang dikatakan oleh Webster and Roget, sebagai “to carry out, accomplish, fulfill, produce, complete”. Di sini mereka memulai studi mereka dengan asumsi bahwa implementasi adalah getting things done. Sedang Van Horn dan Van Meter (1975: 447) mengartikan implementasi kebijakan sebagai “those actions by public and private individual (or groups) that are directed at the achivement of objectives set forth in prior policy decisions”.

Martin Rein and Francise Rabinovitz, dalam bukunya Implementation: A Theoritical Perspective (1978), mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai :

(a) a declaration of government preferences;

(b) mediated by a number of actors who,

(c) create a circular process characterized by reciprocal power relations and negotiations.

Mereka mengindikasikan bahwa proses implementasi didominasi oleh tiga “potentially conflicting imperatives”, yaitu:

a. The legal imperative (respect for legal intent. To do what is legally required. This imperative stresses the importance of subordinate compliance to rules which derive from legislative mandates along the lines discribed by Lowi’s “classical” theory).

b. The rational bureaucratic imperative (what from a bureaucratic point of view is morally correct, administrative feasible, and intelectually defensible course of action. Emphasis here is on such bureaucratic norms as consistency of principles, workability, and concern for institutional maintenance, protection, and growth).

c. The concensual imperative (to do what is necessary to attract agreement among contending influential parties who have a stake in the outcome)

Mazmanian dan Sabatier (1983) memberikan gambaran bagaimana melakukan intervensi atau implementasi kebijakan dengan langkah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi, (2) menegaskan tujuan yang hendak dicapai, dan (3) merancang struktur proses implementasi. Program dengan demikian harus disusun secara jelas, jika masih bersifat umum, program harus diterjemahkan secara lebih operasional menjadi proyek.

Dalam siklus kebijakan publik, dengan demikian tindakan implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan yang amat penting dari keseluruhan proses kebijakan publik. Implementasi kebijakan merupakan serangkaian kegiatan (tindakan) setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu kegiatan implementasi, maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan menjadi sia-sia. Implementasi kebijakan dengan demikian merupakan rantai yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan.

Kelahiran studi implementasi kebijakan di awali oleh banyaknya kegagalan yang dialami oleh negara-negara maju dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan publik yang telah dibuat. Sebagai contoh kebijakan Departemen Pertahanan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Ronald Reagen dalam perang di Timur Tengah. Perang ini telah menimbulkan defisit keuangan negara yang sangat besar bagi Amerika Serikat. Warga negara AS kemudian mengkritik pemerintah dan mengancam tidak mau membayar pajak. Pada hal keuangan negara AS sangat tergantung dari pajak yang dibayarkan oleh warganegaranya.

Kegagalan implementasi kebijakan tersebut kemudian memunculkan minat para pakar kebijakan publik untuk mengkaji dan mencari penyebab kegagalan tersebut. Artinya studi (research) tentang implementasi kebijakan dilakukan untuk mengetahui (mencari) faktor penghambat dan pendukung implementasi suatu kebijakan. Hasil studi yang diperoleh selanjutnya dijadikan referensi (acuan) bagi pelaksanaan kebijakan publik selanjutnya.