Pendekatan Implementasi Kebijakan

Pendekatan yang biasa digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan adalah

a. Pendekatan Struktural (Peran Organisasi)

b. Pendekatan Prosedural dan Manajemen (Network Planning and Control/NPC; Programme Evaluation and Review Technique/ PERT).

c. Pendekatan Perilaku (Behavioural) : Komunikasi, Infromasi lengkap pada setiap tahap.

d. Pendekatan Politis (Aspek-aspek interdepartemental politik).

Banyak pakar kebijakan menilai dari keseluruhan siklus kebijakan, implementasi kebijakan merupakan tahapan yang paling sulit. Seperti Grindle (1980) misalnya, telah mengantisipasi kesulitan tersebut sebagai berikut:

“Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan”.

Di sini Grindle (1980) telah meramalkan, bahwa dalam setiap implementasi kebijakan pemerintah pasti dihadapkan pada banyak kendala, utamanya yang berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan. Ide dasar Grindle ini adalah bahwa setelah suatu kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi, maka tindakan implementasi belum tentu berlangsung lancar. Hal ini sangat tergantung pada implementability dari program tersebut.

Implementability suatu kebijakan, menurut Grindle (1980: 8 – 12) sangat ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of policy). Isi kebijakan mencakup (a) kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, (b) jenis manfaat yang akan dihasilkan, (c) derajat perubahan yang akan diinginkan, (d) kedudukan pembuat kebijakan, (e) siapa pelaksana program, dan (f) sumberdaya yang dikerahkan. Sedang konteks kebijakan mencakup : (a) kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, (b) karakteristik lembaga dan penguasa, dan (c) kepatuhan serta daya tangkap pelaksana terhadap kebijakan. Di sini kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh karenanya tinggi-rendahnya intensitas keterlibatan berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok sasaran dan sebagainya) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan.

Untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi setelah suatu kebijakan dibuat dan dirumuskan adalah subyek dari implementasi kebijakan. Mazmanian dan Sabatier (1983: 3 – 6) menyebutkan adanya dua sudut pandang dalam studi implementasi. Yaitu dari sudut pandang ilmu administrasi negara dan dari sudut pandang ilmu politik. Dari sudut pandang ilmu administrasi negara, pada awalnya implementasi hanya dilihat dari semata-mata sebagai pelaksanaan kebijakan secara efektif dan efisien. Namun pandangan ini semakin tidak populer karena pada saat menjelang dan akhir Perang Dunia II dari hasil berbagai penelitian administrasi negara, ternyata badan-badan administratif tidak hanya dipengaruhi oleh perintah atau mandat resmi yang berasal dari badan-badan pemerintah, tetapi juga oleh tekanan-tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan, intervensi lembaga legislatif, dan oleh berbagai faktor lain di dalam lingkungan politik mereka. Sedangkan dari sudut pandang pendekatan sistem terhadap kehidupan politik, ternyata mematahkan perspektif organisasional dari administrasi negara, sehingga mulai dipikirkan mengenai masukan yang berasal dari luar bidang administrasi negara. Seperti ketentuan kebijakan administratif dan legislatif yang baru, perubahan-perubahan preferensi publik dan teknologi baru (Mazmanian dan Sabatier, 1983: 5).

Adanya dua sudut pandang dalam studi implementasi kebijakan ini juga dikemukakan oleh Ripley (1984: 134 – 135), bahwa studi implementasi mempunyai dua foci pokok yaitu kepatuhan (complience) dan apa yang terjadi setelah suatu kebijakan dilaksanakan (what’s happening). Kepatuhan ini muncul dari literatur administrasi publik dan perspektif ini lebih memusatkan perhatiannya pada apakah badan dan individu bahwahan mematuhi perintah badan atau individu atasannya. Perspektif ini lebih merupakan analisis karakter dan kualitas dari perilaku organisasional. Menurut Ripley (1984: 135), paling tidak ada dua kekurangan dari perspektif ini, yaitu banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh dan ada program-program yang tidak disusun dengan baik (maldesigned). Sedangkan perspektif yang kedua, yaitu perspektif what’s happpening, sangat berbeda dengan perspektif kepatuhan. Perspektif ini berasumsi adanya banyak faktor yang dapat dan telah mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor tersebut utamanya berasal dari lingkuangan luar kebijakan.

Berdasarkan kedua perspektif ini, maka kajian terhadap implementasi kebijakan haruslah memperhatikan faktor eksternal dari kebijakan yang diimplementasikan (lingkungan non organisasional dan non birokrasi), maupun faktor internal. Hal ini seperti ditunjukkan oleh Meter dan Horn (1975: 462 – 474), bahwa kinerja implementasi kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat tercapainya standar dan sasaran tertentu yang telah ditetapkan dalam suatu kebijakan. Untuk mewujudkan standar dan sasaran tersebut, terdapat beberapa variabel penting yang mempengaruhinya, yaitu: (a) ukuran dan tujuan kebijakan, (b) sumber-sumber kebijakan, (c) karakteristik badan atau lembaga pelaksana, (d) komunikasi antarorganisasi terkait dan aktivitas pelaksanaan, (e) kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan (f) sikap para pelaksana kebijakan.

Sedang Sabatier dan Mazmanian (1986: 9 – 11) melihat implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu (a) karakteristik masalah, (b) struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan, dan (c) faktor-faktor di luar peraturan kebijakan. Kerangka pikiran Sabatier dan Mazmanian, menunjukkan bahwa suatu kegiatan implementasi kebijakan akan efektif apabila birokrasi pelaksana mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh peraturan pelaksanaan. Oleh karenanya model ini sering disebut sebagai model top-down.

Model implementasi yang hampir sama juga dikemukakan oleh Edward III (1980), yang menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh faktor (a) komunikasi; (b) sumberdya; (c) sikap implementor (disposisions); dan (d) struktur birokrasi pelaksana. Lebih lanjut Edward III (1980: 147 – 148) mengemukakan faktor-faktor komunikasi, sumberdaya, sikap implementor, dan struktur birokrasi dapat secara langsung mempengaruhi implementasi kebijakan. Di samping itu secara tidak langsung faktor-faktor tersebut mempengaruhi implementasi melalui dampak dari masing-masing faktor. Dengan kata lain, masing-masing faktor tersebut saling pengaruh mempengaruhi, kemudian secara bersama-sama mempengaruhi implementasi kebijakan.

Beberapa model implementasi kebijakan di atas menunjukkan bahwa tidak ada variabel tunggal dalam suatu kegiatan implementasi kebijakan. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik menyangkut kebijakan yang diimplementasikan, pelaksana kebijakan, maupun lingkungan di mana kebijakan tersebut diimplementasikan (kelompok sasaran). Namun demikian, melihat berbagai model di atas nampaknya faktor lingkungan (kondisi sosial, ekonomi dan politik) di mana kebijakan itu diimplementasikan, komunikasi antarorganisasi dan birokrasi pelaksana menjadi faktor dominan bagi penentu keberhasilan implementasi kebijakan.