Listrik dan Hajat Hidup
LISTRIK GIMANA KABARMU
Listrik adalah bagian dari hajat hidup orang banyak karena telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat oleh karena itu pemerintah sesuai dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun saat ini statistic menunjukkan bahwa Negara kita sedang mengalami krisis listrik sehingga banyak daerah terpencil yang tidak bisa menikmati listrik dengan sempurna.
Mengapa Krisis Listrik
Perkembangan sektor kelistrikan di Indonesia telah mengalami laju pertumbuhan luar biasa tinggi pada awal tahun 1980-an hingga sekarang. Antara tahun 1982-1989 kapasitas terpasang PLN tumbuh 15% per tahun (Pape, H. 1999. “ Captive Power in Indonesia, Makalah Seminar) dan pertumbuhan berlanjut sebesar 10% pertahun. Sampai dengan 1998. Kemajuan yang begitu pesat tersebut belum bisa memenuhi kebutuhan dan permintaan masyarakat. Pertumbuhan kebutuhan akan listrik yang demikian tinggi membuat PLN sebagai penyedia tunggal listrik di Indonesia menjadi kewalahan. Rasio elektrivikasi di Indonesia baru sebesar 58% ( 60% di Jawa dan 40% di Luar Jawa). Ini berarti masih ada 42% penduduk yang belum menikmati listrik. Untuk memenuhi besarnya kebutuhan ini maka perlu investasi dibidang listrik namun PLN tidak mampu untuk mengejar besarnya laju kebutuhan energi listrik sehingga selalu mengalami krisis.
Indikator terjadinya krisis listrik ada beberapa hal antara lain
seringnya terjadi pemadaman listrik secara bergilir diberbagai wilayah Indonesia. Pemadaman ini dilakukan untuk menjaga kemampuan Supply listrik agar tidak melampui kapasitas yang ada. Seringkali PLN sebagi penyedia listrik beralasan bahwa pemadaman terjadi karena adanya kerusakan di bebrapa pembangkit sehingga terjadi pengurangan pasokan. Karena alasan ini sering dijadikan tameng oleh PLN maka masyarakat sebagai pengguna/customer menjadi tidak yakin dengan manajemen PLN. PLN sebagai satu-satunya Penyedia dan pendistribusi energi listrik mestinya harus professional.
Perlukah Persaingan Usaha di bidang Ketenagalistrikan
Undang-Undang no 20 tahun 2002 tentang ketenagalistrikan sesungguhnya sangat positif bagai pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme PLN karena didalam Undang-Undang tersebut memungkinkan Sektor-sektor swasta terjun dalam bisnis ketenagalistrikan sehingga menciptakan persaingan usaha yang sehat (tidak dimonopoli oleh PLN). Secara ekonomi, iklim kompetisi dan persaingan yang sehat dapat menghemat rupiah uang konsumen yang dibayarkan ke produsen. Adanya monopoli usaha dapat mengakibatkan terjadinya (overcharge) sebagai akibat kenaikan harga yang artificial maupun ketidakprofesionalnya pengelola listrik.
Ada beberapa manfaat yang didapat jika sektor ketenagalistrikan terjadi kompetisi dan persaingan yang sehat.
Pertama, Harga yang wajar dilihat dari kualitas dalam iklim persaingan, produsen akan berlomba-lomba menerik konsumen dengan menurunkan harga dan meningkatkan kualitas barang/jasa yang dijualnya. Hanya barang/jasa yang mempunyai harga yang rendah dan kualitas yang baik akan dibeli oleh konsumen
Kedua, konsumen memiliki banyak pilihan dalam membeli barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha.
Ketiga, persaingan dapat menciptakan inovasi baru sehingga barang yang dijual akan selalu mengalami perubahan kea rah perbaikan.
Teori Ekonomi Versus Realita
Undang-Undang No 20 tahun 2002 dibuat berdasaran teori ekonomi seperti manfaat didapat apabila ada persaingan. Namun realita dibeberapa Negara (Brasil, Inggris, Nagara Bagian California AS) mengalami kegagalan karena sektor ketenagalistrikan ini serahkan ke sector swasta. Hal ini terjadi karena pada teori ekonomi konsumen memiliki kekuatan (power) untuk melakukan pilihan secara bebas terhadap barang/jasa yang dijual oleh konsumen, tetapi realitanya bahwa dalam sektor energi listrik masyarakat sebagai pengguna tidak memiliki kekuatan untuk memilih barang/jasa yang dikehendaki. Ini berarti persaingan usaha dalam sector ketenagalistrikan tidak mungkin bisa diciptakan. Oleh karena itu kebijakan yang diambil oleh Makamah Konstitusi mencabut Undang-Undang No 20 tahun 2002.